Tampilkan postingan dengan label Sains. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sains. Tampilkan semua postingan

Kamis, 07 Januari 2016

Benarkah, Film Dew@sa Lebih Bahaya dari Narkoba?

Ilustrasi
Fakta baru tentang bahaya film dew@sa yang ternyata disebut-sebut lebih berbahaya dari narkoba dan bisa merusak syaraf dan mata. Ketua Badan Narkotika Kabupaten (BNK) Bekasi, Jawa Barat Rohim Mintareja mengatakan, tren di masyarakat saat ini adalah narkoba ‘lewat mata’ atau disebutnya narkolema. 

Narkoba jenis ini masuk melalui film-film dew@sa. “Narkoba ini merusak syaraf-syaraf mata kita. Film dew@sa ini lebih bahaya daripada narkoba,” terangnya melalui JPNN.com.

Menurut Rohim, efeknya memang tak pernah diduga. Tapi berdasarkan penelitian para ahli kesehatan, nonton film narkolema itu dapat merusak otak lebih daripada mengonsumsi narkoba.

“Maka dari itu kami sosialisasikan juga agar para orang tua memerhatikan anak-anaknya saat bermain internet,” kata Rohim.

Era teknologi yang serba canggih, film-film dew@sa dapat dengan mudah diakses melalui internet. Baik melalui Youtube maupun lainnya.

“Awalnya anak-anak tidak merasakan bahayanya daripada nonton film dew@sa. Tapi efeknya lambat laun akan terasa dengan kerusakan syaraf matanya,” tambahnya.

Kamis, 24 September 2015

Inilah Dampak Negatif Nonton Film P*rno

Zaman semakin canggih, penunjang teknologi tidak bisa dibendungkan lagi bila tanpa diiringi dengan etika dalam penggunaannya. Hal ini tidak tertutup kemungkinan bila kita melirik dibidang dunia Internet, yang semakin hari semakin mudah untuk diakses oleh siapa saja dan diamana saja tanpa ada batas, mulai dari hal-hal yang positif juga dalam hal negatif. Akibatnya banyak situs-situs yang tidak layak untuk dikunjungi beredar didunia internet sehingga tidak sedikit orang tanpa sadar telah menghabiskan waktunya mengakses situs tersebut. Memang terkadang banyak orang mengakses situs yang demikian hanya sekedar hura-hura, menciptakan suasana senang dan lain sebagainya, sehingga mengakses situs p*rnopun menjadi hal yang biasa dan lumrah untuk dilakukan.
Ilustrasi
Menonton film p*rno seringkali menjadi permasalahan yang "diperdebatkan" oleh banyak orang. Banyak yang merasa menonton film p*rno hanyalah menonton dan tidak memberikan pengaruh buruk apapun. Tapi dari hasil penelitian berkata lain. Ternyata menonton film p*rn* bisa berakibat buruk untuk otak besar kita. Selain itu hal ini juga bisa membuatmu yang mungkin menontonnya kehilangan perasaan tertarik pada pasanganmu

Para peneliti menyatakan, film-film seperti ini terkadang bisa meningkatkan nafsu dan memperbaiki hubungan suami-istri. Namun tidak sedikit film-film ini juga bisa menimbulkan efek ketergantungan dan "kerusakan" otak besar ketika ditonton secara berlebihan.


Misal ketika seseorang sedang asik menonton film p*rno, tanpa disadari otaknya akan memproduksi senyawa yang bernama Dopamine. Dopamine adalah zat yang berguna untuk mengatur ekspresi, perasaan, dan juga sukacita. Ketika seseorang menonton film p*rno ataupun gambar-gambar yang tidak senonoh secara berlebihan, otaknya akan terus berada di dalam posisi『siaga』. 

Keadaan seperti ini akan membuat tubuh menjadi terbiasa sehingga ketika tubuh kita membutuhkan efek yang sama setelah seseorang pertama kali menonton film p*rno, orang tersebut perlu menonton film p*rno yang lebih. Setelah tubuh berada dalam keadaan yang seperti ini, akan sulit untuk kembali lagi dalam kondisi tubuh yang semula.

Sobat Cerpen, di dunia ini masih banyak hal yang bisa membuat hati kita bahagia. Bukankah hubungan yang sehat dengan pasangan kita jauh lebih berharga dibandingkan hubungan yang hanya didasari nafsu? Bukankah menjaga tubuh kita tetap sehat dan bahagia dengan gaya hidup yang sehat lebih berharga dibandingkan kesenangan sementara yang diakibatkan oleh benda-benda yang tidak seharusnya kita sentuh?



Sumber : cerpen.co.id

Sabtu, 21 Februari 2015

Penemuan Katak Baru dari Sulawesi Mengejutkan Dunia

Limnonectes larvaepartus
Katak jenis baru dari Sulawesi mengejutkan dunia. Bila biasanya katak berkembang biak dengan cara bertelur, katak ini berkembang biak dengan melahirkan.

Katak itu ditemukan oleh ahli herpetologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Djoko Tjahjono Iskandar, serta rekannya, Ben J Evans, dari McMaster University di Kanada, dan Jimmy A McGuire dari Universityy of California, Berkeley.

Karena mampu melahirkan kecebong, katak baru ini dimasukkan dalam golongan hewan yang berkembang biak secara ovovivipar.

Ovovivipar berbeda dengan ovipar (bertelur) dan vivipar (melahirkan). Ovovivipar berarti embrio tetap berkembang di telur yang berada di dalam tubuh induk, tetapi keluar dari tubuh induk dalam kondisi sudah menetas. 

Spesies katak baru ini dinamai Limnonectes larvaepartus, sesuai dengan sifatnya, mampu melahirkan larva (larvae: larva atau kecebong, partus: melahirkan).

Dalam publikasinya di jurnal PLOS ONE pada Rabu (31/12/2014) lalu, Djoko menyatakan bahwa jenis ini sudah dijumpai sejak dia melakukan survei keragaman katak di Sulawesi pada tahun 1996 lalu. 

Namun, identitas katak ini sebagai spesies baru belum bisa ditetapkan sebab belum ada bukti perilaku melahirkan.

Perilaku melahirkan kemudian berhasil dilihat saat Djoko dan tim melakukan studi lapangan di Sulawesi tahun ini. Satu kali kesempatan, Djoko menyaksikan langsung katak melahirkan di genggaman tangan.

Dalam kesempatan lain, Djoko dan tim menjumpai adanya kecebong hidup dalam bagian sistem reproduksi bernama oviduk serta dalam tas plastik tempat tim mengoleksi katak.

Hingga kini, perilaku melahirkan ini masih misteri. Bagaimana bisa katak yang biasanya melakukan pembuahan eksternal (tidak ada penyatuan antara sel sperma dan sel telur dalam tubuh) bisa melahirkan?

Limnonectes larvaepartus disebut sebagai satu-satunya jenis katak yang mampu melahirkan kecebong dan satu dari 12 jenis katak yang mengalami evolusi fertilisasi internal.

Sebelumnya, terdapat katak Rheobatrachus yang dikenal "mengerami" telurnya di dalam lambung untuk kemudian memuntahkannya dalam bentuk kecebong. Namun, golongan katak itu sudah punah pada tahun 1980-an.

Sementara itu, di Afrika terdapat genus katak Nectophrynoidesdan Nimbaphrynoides yang juga bisa melahirkan. Namun, keduanya melahirkan berudu (katak muda), bukan kecebong.



Limnonectes larvaepartus, ditemukan di wilayah Sulawesi Tengah, dinyatakan sebagai spesies endemik. Penyebarannya belum diketahui secara pasti sebab survei keragaman dan populasi katak di pulau itu hingga kini masih minim.

Katak itu biasanya hidup dalam rentang jarak 2-10 meter dari perairan. Secara fisik, katak unik karena memiliki tonjolan serupa taring dan warna emas di area punggung.

Sulawesi dipercaya merupakan rumah bagi sekitar 25 jenis katak bertaring. Di tengah eksploitasi hutan di Sulawesi, katak endemik ini perlu dilindungi. Kepunahan jenis ini dan jenis lain yang belum ditemukan mengancam bila perusakan lingkungan terus dilakukan.


[Sumber : Kompas.com]